Selasa, 20 Desember 2011

PIQIH

PENGERTIAN NIKAH MUT’AH

 Mut’ah identik dengan kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Secara istilah, mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya jika meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu. Nikah mut’ah adalah nikah sementara waktu karena nikah mut’ah adalah kawin sementara (kontrak) yaitu menikah untuk satu hari, satu minggu, enam minggu , satu tahun sesuai dengan perjanjianya. [1]

  Nikah Mut’ah disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu`aqqat). Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam nikah mut’ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit.

 Tujuan nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual (istimta’), sehingga berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-nasl). Pihak laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari (nafaqah) untuk istri sementaranya, sebagaimana yang harus ia lakukan dalam pernikahan permanen. Sejalan dengan itu, pihak istri juga mempunyai kewajiban yang sedikit untuk mentaati suami, kecuali dalam urusan seksual.

2. HUKUM NIKAH MUT’AH

 Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, Namun hukum ini telah dimansukh/dihapus dengan larangan Rasul Saw untuk menikah mut’ah. Para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya nikah mut’ah tersebut. Pendapat yang lebih rajih bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.

 al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:

“ yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”. Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.[2]

Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri.

 Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merevisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”

 Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asy’ariyah ) Dasar legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah muth’ah adalah al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24:









habat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, dan Said Ibn Zubair. Kaum Syi’ah berpendirian bahwa praktek nikah muth’ah terdapat pada masa Nabi dan Khalifah Pertama. Baru pada periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah muth’ah dilarang.

 pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sbb.



 ( “Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah”[3]



    PENDAPAT ULAMA TENTANG NIKAH MUT’AH



    Menurut ulama mazhab kaum syiah imamiah membolehkan nikah mut’ah
    Menurut ijma’ ulama kaum ahlussunnah waljama’ah, semua imam mazhab sependapat bahwa hokum nikah mut’ah adalah haram



    ANALISA ATAU JAWABAN YANG TEPAT UNTUK MASALAH IN I

Menurut kelompok kami sesuai dengan keserpakatan empat mazhab , nilah mut’ah haram hukumnya

Alasan diharamkanya :

    Tidak didukung oleh Al-Qur4’an yang berkaitan dengan talak, iddah, dan hokum waris
    Larangan Rasulullah Sabdanya : “ hain segenap manusia , aku telah mengizinkan kamu melakukan kawin mut’ah, maka sesungguhnya Allah telah mengharamkanya hingga hari kiamat (H.R Ibnu Majah )
    Sayidina umar bin Khatab R.A mengharamkanya nikah mut’ah dan para sahabat tidak ada yang menentangnya.

      NIKAH MIS’YAR



    PENGERTIAN NIKAH MISYAR

  Nikah Misyar adalah calon suami mensyaratkan kepada calon isterinya untuk tidak dibiayai dan tidak diberi rumah (tempat tinggal), dan semau suami mengunjunginya kapan saja. Kata Misyar bermakna berjalan menuju isterinya. Dimana sang suami tidak tinggal bersama isterinya untuk selama-lamanya. Sang isteripun secara ridha dan ikhlas tidak menuntut hak nafkah dan tempat tinggal.[4]

Nikah Misyar banyak ditemui di beberapa negara di Timur Tengah, seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Makna kawin misyar adalah “lewat dan tidak lama-lama bermukim”. Biasanya terjadi pada istri kedua atau seterusnya, dimana seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki di rumahnya. Tujuan kawin jenis ini agar suami terbebas dari kewajiban menafkahi istri serta memberinya tempat tinggal seperti halnya terhadap istri pertama.

Kawin misyar terkadang tidak tercatat , dan terkadang tercatat dengan disertai bukti. Biasanya pihak wanita ber-tanazul (keringanan tidak menuntut sebagian haknya) terutama menyangkut materi, kecuali dalam nafkah batin.

Karena banyaknya perempuan yang sudah tiba masa nikah tapi belum nikah, sedang usia mereka yang semakin senja. Atau banyaknya janda karena ditalak atau ditinggal mati suami. Perempuan layaknya lelaki, secara fitrawi, juga butuh pasangan hidup, nikah. Dengan menikah, jiwanya akan tenang. Dengan menikah maka terjadi kehamilan dan melahirkan anak. Dimana seorang perempuan ingin sekali melimpahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sebagai seorang ibu yang penyayang. Walau dia secara rela dan tidak terpaksa untuk tidak meminta haknya kepada suaminya, demi kerinduannya kepada anak-anak yang kelak dia belai, dia rangkul, dia cium.

Disisi lain, suami butuh lebih dari seorang isteri. Butuh karena ingin menyalurkan keinginan sexnya, sedangkan isterinya tidak cukup memberikan yang lebih dari kemauannya. Atau karena isterinya sering sakit-sakitan. Atau karena masalah lainnya, sedangkan suami tidak punya uang yang cukup untuk nikah lagi dengan perempuan lainnya. Tidak ada mahar, nafkah, dan tempat tinggal yang layak untuk isteri baru. Atau karena sebab lain, sedangkan ada perempuan yang memanggil-manggilnya, sehingga kejantanannya menegang. Maka demi keluar dari masalahnya tadi, nikah Misyar menjadi solusi terbaik baginya.

2. HUKUM NIKAH MISYAR

Karena model nikah Misyar baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya. Secara detail sebagai berikut;

Pendapat pertama; nikah Misyar boleh tapi makruh. Sebab nikah Misyar juga mewujudkan maslahat syari’at. Dimana pasangan suami isteri mendapatkan kepuasan batin. Juga adanya kehidupan keluarga yang dibangun atas dasar kemuliaan. Pendapat ini didukung oleh Doktor Yusuf Qardawi dan Doktor Wahbah Zuhaili.[5]

Secara hukum, nikah Misyar sah adanya, karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah. Dimana ada ijab qabul, saling meridhai antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan, ada mahar yang disepakati. Setelah akad nikah keduanya resmi menjadi suami isteri. Suami isteri yang dikemudian hari punya hak. Hak keturunan, hak waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dll. Yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami isteri. Hanya saja, keduanya saling meridhai dan sepakat, bahwa tidak ada hak suami tinggal bersama isterinya, hak berbagi hari giliran. Sebab semuanya tergantung kepada suami. Kapan saja suami mau menziarahi isterinya, maka dia akan menjumpainya disembarang jam, siang maupun malam.

Pendapat ini mengambil sebuah hadits sebagai dalil sahnya nikah Misyar. Yaitu hadits tentang bolehnya isteri menggugurkan hak hari gilirannya kepada isteri lainnya. Seperti kasus Siti Saudah, isteri Rasulullah, menyerahkan giliran harinya kepada Siti Aisyah. Dia berkata kepada Rasulullah; Wahai Rasulullah, aku telah memberikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka setelah saat itu, Rasulullah membagi dua hari kepada Siti Aisyah. Sehari memang hak Siti Aisyah dan sehari adalah hadiah dari Siti Saudah (Fathul Bari syarahnya Sahih Bukhari, Juz 9, hal 387, hadits nomor 5212, kitab nikah, bab isteri menghadiahi hak hari gilirannya dari suaminya kepada isteri lainnya).

Tanpa diragukan lagi, bahwa nikah Misyar menjadi solusi untuk meminimalisir perawan-perawan tua yang telah lewat masa nikah. Jika ada suami yang berani meniti jalan ini, maka yakinlah, suami itu berada dijalan yang benar, sesuai syari’at, dan perbuatannya berpahala dan terpuji. Sebab syarat untuk menggugurkan biaya hidup dan tinggal serumah tidak menghalangi isteri untuk memintanya jika dia mau. Karena pada dasarnya, itu memang hak isteri secara syar’i. Maka menjadi haknya pula menggugurkan hak kepemilikannya.

Pendapat kedua; haram nikah Misyar. Pendapat ini didukung oleh Sekh Muhammad Nashir Albani, Doktor Ali Qurah Dagi, dan Doktor Muhammad Zuhaili. Sebab, nikah Misyar tidak mewujudkan tujuan syari’at dalam nikah. Dimana praktek nikah Misyar lebih banyak mengabaikan hakikat nikah. Seperti adanya kasih sayang, tempat tinggal, terjaganya keturunan dengan baik, dan adanya ikatan pernikahan yang sempurna dari semua segi. Hakikat nikah hanya dapat dicapai bila hak dan kewajiban ditunaikan secara normal dan sempurna.

Nikah Misyar juga menjadikan suami tidak punya tanggung jawab keluarga. Akibatnya, suami akan dengan mudah menceraikan isterinya, semudah dia menikah. Belum lagi praktek nikah Misyar lebih banyak dilakukan secara diam-diam, tanpa wali. Semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum sex dan pecinta wanita. Karena tak ada tujuan lain, selain agar nafsu sexnya terpenuhi tanpa ada tanggung jawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya, akan merasa asing dengan bapaknya, karena jarang dikunjungi. Dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.

Juga, salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i mengatakan tidak sahnya akad nikah bila disyaratkan gugur nafkah dan tempat tinggal.

3..JAWABAN YANG TEPAT UNTUK MASALAH INI

  Menurut kelompok kami sesuai dengan pendapat

Profesor Doktor Muhammad Abdul Sattar Jubali, Dosen Hukum Islam Universitas Al-Azhar menguatkan pendapat yang mengatakan haramnya nikah Misyar. Sebab dalil yang digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas. Dimana Siti Saudah nikah secara normal dengan Rasulullah tanpa ada syarat terlebih dahulu atau bersamaan dengan akad nikah, untuk menggugurkan hak hari gilirannya. Olehnya, hak hari gilirannya adalah mutlak menjadi miliknya. Karena itu adalah miliknya, maka dia berhak menghadiahkannya. Sebagaimana hak mahar, boleh juga dihadiahkan seluruhnya atau sebagian kepada suami. Sebagaimana firman Allah; “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa: 4).[5]

Juga alasan yang diutarakan oleh pendapat pertama, bahwa nikah Misyar meminimalisir perawan-perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya suami, perlu ditela’ah lebih jauh. Bahwa perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya. Maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak.



    NIKAH SIRRI ( NIKAH TAMPA WALI )



    PENGERTIAN NIKAH SIRRI

 Kata “Sirri” berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut terminologi fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah: “Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat”.[6]

 Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya. Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini bathil menurut jumhur ulama.

Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain.



Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi –sembunyi  tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al Umm  5/ 23, “ Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata, “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)“

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra, “ Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri “ ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapaun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat ( terpecaya ) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid ( 4/ 62 ) hadist  8057 ) Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.

    : Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini  tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .

    HUKUM NIKAH SIRRI



  pendapat pertama : Para ulama menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’,  Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi,  : 7/ 434-435 ) .  Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa  Rasulullah saw bersabda, “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “  ( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (  al-Muhalla : 9/465)

     Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap  sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah ( akad timbal balik yang saling menguntungkan ), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli. Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana  biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan. Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.

     Pendapat Kedua : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah ( Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95 ) . Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut.  ( Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji,  Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401)  Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pembeda antara  yang halal  ( pernikahan ) dan yang haram  ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara  “ ( HR an Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain )

     Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :  “ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi  berkata : Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

    3. MENURUT PENDAPAT ULAMA

• Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua: Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan tersebut. Menurut pandangan seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil. Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifâh (perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân (menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas nafsu).Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya …” [al- Nisâ`/4:25]. Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi, mereka (suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan ini dari telinga masyarakat. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya dilarang. Sebab, suatu perkara yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah bukan rahasia lagi. Dilarang, karena adanya perintah Rasul Saw untuk walimah dan menghilangkan unsur yang berpotensi mengundang keragu-raguan dan tuduhan tidak benar. Sedangkan kalangan ulama Malikiyah menilai pernikahan yang seperti ini batil. Karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sah pernikahan.[7]

    TERMINOLOGI NIKAH SIRRI DI INDONESIA

• Dalam konteks masyarakat Indonesia, definisi nikah sirri ada beberapa versi:

• 1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan).

• 2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan.

• 3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).

• Nikah sirri yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia yaitu pernikahan yang sah namun tidak didaftarkan ke KUA. Dalam konteks ini terminologi yang tepat adalah Nikah Sirri = Zawaj ‘Urfi = Nikah dibawah tangan.• Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.

• Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat.

 Faktor-faktor pendorong nikah ‘urfi:

 a. Problem Poligami .b. Undang-undang usia. c. Tempat tinggal yang tidak menetap.d. Faktor Harta/Mahar yang tinggi. e. Faktor Agama. Sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.

Diantara efek pernikahan sirri bagi anak & istri: 1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami. 2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat, tidak bisa di pengadilan agama. 3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (karena tidak tercatat secara hukum. 4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Sebab untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. 5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja. Apabila suami sebagai PNS, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami 6. Anak & istri terancam tidak mendapat hak waris, karena tidak ada bukti administrasi pernikahan.





Ada beberapa alasan kenapa orang nikah sirri, diantaranya adalah :

a.  Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.

b.  Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.

c. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatife tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.

d.  Faktor – faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan  pernikahannya.

Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini ?

Pertama : Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.

Kedua : Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sangsi hukum.

         Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin komplek, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antar individu di dalam masyarakat. Maka, secara umum Negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan Negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi : “ Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat “ ( As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama,  hlm : 121 ).

     Maka, dalam ini, pada dasarnya Negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.

     Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya Negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut. Wallahu A’lam.



        JAWABAN YANG TEPAT MENGENAI MASALAH INI

• Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut hukum Islam, karena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya. Nikah sirri juga tidak sah menurut hukum positif, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan pencatatan nikahnya oleh KUA.

• Nikah dibawah tangan hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak motif “sirri”, karena telah memenuhi ketentuan syari’ah yang benar. Nikah dibawah tangan tidak sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan UU yang berlaku dalam hukum perkawinan.

• Nikah ‘urfi banyak mengandung persoalan ( mafsadat/ mudharat ). Sehingga dalam perspektif syari’at, nikah ‘urfi, walau sah secara fiqh, tetapi perlu dihindari.

    PERNIKAHAN TANPA WALI DAN ATAU SAKSI

Hadith yang memuat keterangan tentang pernikahan tanpa wali dan atau saksi dapat dijumpai dalam beberapa kitab, diantaranya kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi, Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani, Mu’jam al-Ausat} li al-Tabrani, Musnad al-Shafi’i, Sunan al-Daruqutni dan Shahih Ibnu Hibban. Adapun yang dijadikan hadith utama dalam makalah ini adalah hadith yang termuat dalam Sunan al-Daruqutni bab ”Nikah” dengan redaksi sebagai berikut:

“ Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin ’Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisham bin ’Urwah dari ayahnya dari ’Aishah: ’Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil”.

Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang besar untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya (seks). Untuk itu, hukum Islam mengatur penyaluran kebutuhan biologis tersebut melalui satu-satunya cara yang dilegalkan oleh al-Qur’an dan Hadith, yakni pernikahan.

Kata nikah berarti al-'aqd (ikatan/perjanjian) dan al-wat' (jima'/bersebadan). Para ahli bahasa berbeda pendapat tentang mana dari dua macam arti ini yang merupakan arti asal. Ada yang memandang al-aqd sebagai arti asal sedangkan al-wat' sebagai arti kiasan. Menurut istilah nikah adalah akad perkawinan yang dilaksanakan berdasar syarat dan rukun tertentu menurut syari'a islam.

Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1, perkawinan didefinisikan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Para ulama fiqh menyatakan bahwa nikah adalah penyempurna ibadah karena bilamana seseorang telah sempurnya syahwat batiniahnya maka ia akan membutuhkan syahwat farji. Kata nikah dalam al-Qur'an tersebut 23 kali. Segala sesuatu yang disyari'atkan Islam mempunyai tujuan, begitu juga dengan perkawinan, tujuan adanya pekawinan, dijelaskan dalam al-Qur'an Surah al-Rum ayat 21, yang artinya:

Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT adalah bahwa Ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih saying (mawaddah dan rahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir.

Disamping tujuan perkawinan, fungsi perkawinan yang paling mendasar adalah sebagai lembaga preventif (mani') bagi terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama yaitu perbuatan zina (prostitusi) dan kefasikan.

Ketentuan tentang pernikahan banyak dimuat dalam al-Qur’an dan hadith, namun aturan teknis bagaimana suatu perkawinan yang sah hanya dijelaskan oleh hadith. Pernikahan dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan wanita sebagai mempelai, wali, mahar, saksi dan akad (ijab qabul). Dalam realitasnya, tidak semua pernikahan dilaksanakan sesuai dengan tata aturan yang telah digariskan. Entah dengan alasan apa, seringkali dijumpai pernikahan yang dilaksanakan tanpa kehadiran wali dan ataupun saksi.

Untuk itu, melalui makalah ini penulis mencoba untuk menelaah hukum pernikahan yang dilaksanakan dengan tanpa kehadiran wali dan atau saksi berdasarkan teks-teks hadith yang mengatur teknis pelaksanaan pernikahan.

Hadith yang memuat keterangan tentang pernikahan tanpa wali dan atau saksi dapat dijumpai dalam beberapa kitab, diantaranya kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi, Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani, Mu’jam al-Ausat} li al-Tabrani, Musnad al-Shafi’i, Sunan al-Daruqutni dan Shahih Ibnu Hibban. Adapun yang dijadikan hadith utama dalam makalah ini adalah hadith yang termuat dalam Sunan al-Daruqutni bab ”Nikah” dengan redaksi sebagai berikut: “ Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin ’Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisham bin ’Urwah dari ayahnya dari ’Aishah: ’Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil”.

Secara literal, redaksi hadith menunjukkan arti bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang adil. Namun terkait dengan susunan lafadh yang nantinya berimplikasi pada konteks hukum, terdapat ihtilaf di antara ulama.

Bentuk nafy pada kata لاَ نِكَاحَ mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada yang menyebut bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadith di atas dapat diartikan ” Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil”. Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau aksi bukan merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.

Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, لاَ نِكَاحَ berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan sebagai hakikat syari’at, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan ataupun saksi adalah tidak sah.



1. JAWABAN YANG TEPAT MENGENAI NIKAH TAMPA WALI

Selain imam Malik dan madhhab Shi’ah, mayoritas ulama menyepakati bahwa saksi juga merupakan syarat yang menentukan dalam sah atau tidaknya pernikahan. Dengan demikian, tidak sah hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.

C. NIKAH LEWAT TELEPON

1. PENGERTIAN NIKAH LEWAT TELPON

 Pernikahan lewat telpon adalah pernikahan yang menggunakan telpon untuk mengucapkan ijab dan Kabul dan wali dan calon pengantin terpisah jarak.

    HUKUM NIKAH LEWAT TELPON

Meskipun penggunaan telephon dan internet untuk melakukan akad nikah  jarak jauh ada yang memperbolehkan namun pendapat itu banyak ditentang oleh jumhur al – ulama’ mengingat pernikahan memilki nilai yang sangat sacral dan bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah,mawaddah dan rahmah bahkan tatanan social yang kukuh. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus di hadiri oleh yang bersangkutan secara  langsung dalam hal ini mempelai laki –laki, wali dan minimal dua saksi.

Dengan demikian akad nikah melalui media komunikasi ( internet, telepon,faks dan lain – lain ) tidaklah sah, karena tidak dalam satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping itu sesuai dengan pendapat Mlikiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah.

Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan / kekurangan untuk dipenuhi.

Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada / tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs. Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat.

Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak  dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain terdapat kelemahan /kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :

    Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:



Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qurân, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Quran, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qurân. Dan apabila dalam al-Qurân tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qurân dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qurân dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.

Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syarâ, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Quran dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijmaâ Dalam hal kembali kepada Ijmâ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma adalah Ijma yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadis, sedangkan Ijmayang bersumber di luar al-Quran dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijmaâ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju dengan Ijmaberpendapat bahwa Ijma itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.

Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syara. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu seseorang dalam mengistimbathkan hukum.



2. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.

3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih

Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.

Dan hadis Nabi

Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.

Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah

Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.

    JAWABAN YANG TEPAT MENURUT KELOMPOK KAMI

Dari uraian yang penulis sampaikan di muka, dapat lah Diambil JAWABAN sebagai berikut :

1. nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih

karya ilmiah

KATA PEGANTAR


Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunianya
saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas Karya Ilmiah  InI. Tidak lupa juga Saya ucapkan terima kasih kepada dosen  yang telah membimbing Saya agar dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun karya tulis ilmiah Ini.
Karya Ilmiah Ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pegelolaan peyakit tanaman dalam system pertanian berlanjutan, yang Saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh Saya dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri Saya maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya Karya Ilmiah  ini dapat terselesaikan.
semoga Karya Ilmiah Saya Dapat bermanfaat bagi Para Mahasiswa, Pelajar, Umum Khususnya pada diri saya sendiri dan semua yang membaca Karya Tulis Saya ini, Dan  Mudah mudahan Juga  dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca . Walaupun Karya Ilmiah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.


             













BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH
KERUGIAN AKIBAT HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

  • Kehilangan hasil akibat penyakit tumbuhan rata-rata mencapai 11.8% dan karena hama mencapai 12,2 % pada berbagai tanaman penting di seluruh dunia.

  • Kehilangan hasil akibat gangguan penyakit pada tanaman padi rata-rata mencapai 15,1 % dari potensi hasilnya, dengan kerugian di seluruh dunia mencapai 33 milyar USD selama 1988-1990.


PERTANIAN BERKELANJUTAN


Awalnya, tahun 1980, istilah “sustainable agriculture” atau diterjemahkan menjadi ‘pertanian berkelanjutan’ digunakan untuk menggambarkan suatu sistem pertanian alternatif berdasarkan pada konservasi sumberdaya dan kualitas kehidupan di pedesaan. Sistem pertanian berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan, mempertahankan produktivitas pertanian, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan stabilitas dan kualitas kehidupan masyarakat di pedesaan.
Tiga indikator besar yang dapat dilihat:

1.Lingkungannya lestari
2.Ekonominya meningkat (sejahtera)
3.Secara sosial diterima oleh masyarakat petani.


PHT DAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN

PHT adalah suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Sasaran PHT adalah : 1) produktivitas pertanian yang mantap dan tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pa­da aras yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua teknik atau metoda pengendalian OPT didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi.
PHT adalah sistem pengendalian OPT yang merupakan bagian dari sistem pertanian berkelanjutan.

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) UNTUK  PENYAKIT  TANAMAN

Kegiatan pengendalian penyakit pada tanaman berdasarkan prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dimulai dari masa pra-tanam sampai panen, bahkan rekomendasi.

pengendalian pada beberapa jenis tanaman juga menyangkut pascapanen. Dalam pelaksanaan pengendalian pada setiap fase tumbuh tanaman, dimulai dari analisa ekosistem, pengamatan penyakit dan pengambilan keputusan apakah akan dilakukan tindakan pengendalian atau tidak. Sebelum dilakukan tindakan pengendalian, perlu diadakan pengamatan terhadap penyakit. Pada setiap fase pertumbuhan tanaman, seharusnya telah diketahui penyakit apakah yang biasanya mengganggu tanaman. Hal demikian ini agar memudahkan dalam melakukan monitoring penyakitnya. Penggunaan fungisida hanya bila perlu .


PRINSIP PENGELOLAAN PENYAKIT TUMBUHAN

  • Pada prinsipnya, untuk mengelola penyakit tumbuhan ada strategi dan ada taktik yang dapat digunakan.


  • Taktik dipakai untuk mencapai tujuan berdasar strategi yang dicanangkan.


  • Secara umum, ada tiga strategi yang dapat dilakukan untuk pengendalian penyakit tumbuhan yaitu :

(1) strategi untuk mengurangi inokulum awal,
(2) strategi untuk mengurangi laju infeksi, dan
(3) strategi untuk mengurangi lamanya epidemi.
(4)Sedangkan taktik pada prinsipnya ada enam, yaitu avoidan, ekslusi,      eradikasi, proteksi, resistensi, dan terapi.



PHT DAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN


PHT adalah suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Sasaran PHT adalah : 1) produktivitas pertanian yang mantap dan tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi OPT dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pa­da aras yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan risiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua teknik atau metoda pengendalian OPT didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi.
PHT adalah sistem pengendalian OPT yang merupakan bagian dari sistem pertanian berkelanjutan


PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) UNTUK  PENYAKIT  TANAMAN

Kegiatan pengendalian penyakit pada tanaman berdasarkan prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dimulai dari masa pra-tanam sampai panen, bahkan rekomendasi pengendalian pada beberapa jenis tanaman juga menyangkut pascapanen. Dalam pelaksanaan pengendalian pada setiap fase tumbuh tanaman, dimulai dari analisa ekosistem, pengamatan penyakit dan pengambilan keputusan apakah akan dilakukan tindakan pengendalian atau tidak. Sebelum dilakukan tindakan pengendalian, perlu diadakan pengamatan terhadap penyakit. Pada setiap fase pertumbuhan tanaman, seharusnya telah diketahui penyakit apakah yang biasanya mengganggu tanaman. Hal demikian ini agar memudahkan dalam melakukan monitoring penyakitnya. Penggunaan fungisida hanya bila perlu .



B. IDENTIFIKASI MASALAH
     Berdasarkan latar belakang masalah, masalah – masalah yang muncul dapat di identifikasi sebagai berikut :
  • Banyaknya masyarakat belum mengetahui  Penerapan pengelolaan hama terpadu (PHT) dalam pengendalian penyakit tumbuhan ?

  • Kerugian akibat hama dan penyakit pada tumbuhan ? 

  • bagaiamana cara penerapan PHT dalam pengendalian penyakit PHT dan sistem pertanian yang berkelanjuta ?  
C. TUJUAN       Penulisan karya tulis ini bertujuan :


  • Agar Banyaknya masyarakat dapat mengetahui cara penerpan pengelolan hama terpadu. 

  • Agar dapat mengurangi kerugian akibat dari hama dan penyakit pada tumbuhan. 

  • Lebih dapat mengetahaui prinsip pengelolaan peyakit tummbuhan.











BAB II

PEMBAHASAN
PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN

  • Lebih bertumpu pada penggunaan fungisida

  • Pengendalian menggunakan fungisida secara berjadwal atau tergantung cuaca

  • Pemilihan varietas tanaman lebih ditujukan untuk produksi dan pasar, bukan karena ketahanannya terhadap OPT

  • Sisa tanaman sakit dibersihkan seadanya, bukan benar-benar ditujukan untuk merendahkan jumlah propagul.

  • Belum banyak petani yang membuat perencanaan pengelolaan OPT mulai awal sebelum dilakukan praktek penanaman.


PESTISIDA UNTUK PENGENDALIAN PENYEBAB PENYAKIT
           Penggunaan pestisida untuk pengendalian penyakit :

  • Fungisida untuk jamur jumlahnya cukup banyak:

  • Nematisida  untuk nematoda  beberapa saja

  • Bakterisida  untuk bakteri beberapa saja

  • Algisida untuk Algae sangat sedikit jumlahnya

  • Racun untuk Tanaman Tinggi Parasit

PERMASALAHAN PENERAPAN PHT DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT

  • Faktor penyakit yang renik dan gejala yang mirip-mirip menyebabkan diagnosis penyakit dan deteksi dini lebih sukar dikuasai kebanyakan petani

  • Pemahaman petani terhadap aspek yang menyangkut perilaku patogen dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan patogen.

  • Penerapan PHT yang berhasil hanya pada beberapa komoditas unggulan, belum menyangkut banyak komoditas yang terus berkembang di masyarakat.

  • Buku-buku petunjuk untuk PHT lebih banyak menekankan pada aspek hama, ekosistem, musuh alami hama dibandingkan pada masalah penyakit.



BEBERAPA SOLUSI

  • Insentif bagi petani yang menerapkan PHT

  • Keberpihakan pemerintah lebih diperbesar untuk meningkatkan pendidikan dan    penyediaan sarana/prasarana bagi petani di pedesaan

  • Faktor informasi à dapat didekati dengan informasi yang atraktif, sederhana dan mudah dimengerti, up to date, mudah diakses.

a).Buku-buku masuk desa dan Perpustakaan keliling


b).Klinik tumbuhan masuk desa

c).Internet masuk desa
































BAB III
KESIMPULAN

  • Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dalam pengendalian penyakit tumbuhan merupakan bagian dari kegiatan dalam sistem pertanian berkelanjutan.

  • Permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan PHT untuk pengendalian penyakit tumbuhan masih banyak, sehingga perlu uluran tangan pemerintah lebih besar lagi untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut.

  • Perlu dibangun sistem jaringan informasi berbasis web di pedesaan agar petani menjadi lebih mampu dalam menerapkan PHT, yang pada akhirnya akan tercapai pertanian berkelanjutan yang diharapkan bersama.



DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Buku3. Bayumedia Publishing.

Abadi, A. L. 2005. Permasalahan Dalam Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu
Perlindungan Tanaman Indonesia No. 6 (1): 1-8.